Powered By Blogger

Minggu, 21 Agustus 2016

POJOK TERAKOPIE


Photo by TERAKOPIE

“Espresso satu mas ..!” teriakku sambil berjalan menuju satu pojok favoritku.

“Siap .. Tapi antre sebentar ya ... Lagi banyak orderan nih.” Ucap Sang Barista sambil mulai menyendok biji-biji kopi dan mulai memasukkannya ke mesin grinder.

“Oke, santai saja. Kok sendirian ? Dimana Mas Walid ?” Ucapku kemudian ketika sampai dipojok favoritku.

“Ambil kopi di Temanggung. Tapi sepertinya sebentar lagi juga sampai sini.”

“Oh .. Ke Temanggung”.

***

TERAKOPIE. Itulah nama yang kemudian dipakai oleh pemiliknya untuk Cafe ini. 

“Terakopie ? apa artinya itu ?” Selorohku pada waktu pertama menikmati kopi disini.

“Terakopie itu singkatan dari Temanggung Arabika Kopi.” Jawab Mas Walid Si Empunya cafe yang juga menjabat sebagai barista.

“Oh itu singkatan toh. Untung ketika disingkat jadinya bagus. Kalo jelek kan harus cari yang lain, hahahaha.” Komentarku setelah satu sesapan kopi tubruk masuk ke rongga mulutku.

“Kalo jelek dibawa ke salon saja. Terus di make over .... hahaha ...” jawabnya kemudian.

Disini lah, setahun yang lalu percakapan tentang apa itu Terakopie berlangsung. Saat itu pula untuk pertama kalinya aku menginjakkan kaki di cafe ini diperkenalkan oleh seorang teman. Dari temanku pula lah aku mengenal Si Empunya Cafe sekaligus Barista yang terkenal ramah terhadap semua orang itu. Karena mereka berdua berteman lama dan aku cukup terkejut dengan cerita pertemuan mereka berdua yang sangat lucu menurutku.

“Kenapa Temanggung ? Bukankah Temanggung itu Kota Tembakau ? Ya ... meskipun memang sebagian daerah di Temanggung sebenarnya juga penghasil kopi sih,” tanyaku penasaran.

“Ya karena aku Orang Temanggung, jadinya aku pakai nama Temanggung saja untuk cafe ini. Lagipula, sebagian besar kopi disini kan berasal dari Temanggung. Biar semua orang itu tahu kalau Temanggung itu tidak hanya menghasilkan tembakau tapi juga menghasilkan kopi yang nikmat. Sekarang kalian mau pesan apa ?” tanyanya sambil menyerahkan daftar menu.

“Oh jadi begitu ceritanya. Hmm aku pesan apa ya ? Oh ya begini deh ... karena aku ingin merasakan gimana nikmatnya kopi khas Temanggung ini, aku pesan kopi tubruk saja. Kata orang, jika ingin merasakan kenikmatan kopi itu nikmatilah kopi tubruk. Bukan begitu ?” kataku sok tahu.

“Okelah aku juga pesan kopi tubruk ya,” kata Mas Adi temanku itu kemudian.

“Pilihan yang bagus. Tunggulah sebentar biar aku buatkan,” kata Mas Walid sambil berlalu.

Tak lama kemudian, datanglah dua gelas kopi pesanan kami. Aroma kopi semerbak menebar ke segala penjuru cafe. Aroma yang menenangkan. Kami juga disuguhi Timus. “Jajanan khas desa,” kata Mas Walid. Timus ini jajanan yang terbuat dari ubi yang telah dilumatkan kemudian dibentuk bulat lonjong kemudian digoreng. Manisnya terasa pas tanpa pemanis buatan. Cocok sekali jika didampingkan dengan kopi tubruk yang pahit.

Aku mulai menghirup aroma dari tubruk didepanku. Jika digambarkan seorang lelaki, tubruk ini adalah seorang lelaki yang lugu namun memiliki kepribadian yang luar biasa. Lelaki yang digambarkan seperti tubruk ini adalah lelaki yang pandai menyembunyikan perasaan dan keunggulan yang dimilikinya. Jika digambarkan sebagai perempuan, kopi tubruk bagai perempuan yang memiliki inner beauty. Kita harus menikmatinya secara perlahan agar keunggulan yang dimilikinya dapat keluar dan membuat siapa saja yang menikmatinya menjadi terpesona.

Perlahan aku mulai menyesap kopi dalam cangkir putih itu dan berhenti pada sesapan ketiga.

“Aku seperti merasakan rasa jeruk disini. Seperti ada rasa agak asam,” ucapku sambil mengecap lidah dan bibirku.

“Berarti indra perasamu masih sangat bagus,” kata Mas Walid kemudian.

Karena aku memang tidak begitu suka dengan kopi yang begitu pahit, aku pun menuangkan gula cair yang telah disiapkan dalam sebuah teko mungil. Cukuplah untuk menambah rasa manis yang tidak terlalu manis.

“Ah tapi aku nggak mau banyak-banyak minum kopi. Takut nanti malah nggak bisa tidur,” Kataku sambil mencomot satu buah timus yang dari tadi kelihatan tidak kalah menggiurkan.

“Itu cuma pikiranmu saja. Buktinya aku sering minum kopi tapi tetap saja bisa tidur seperti biasa,” kata Mas Adi setelah menghabiskan setengah cangkir kopinya.

“Berarti kamu gemar juga minum kopi, hahaha.”

Aku pun kembali menikmati kopi tubrukku yang hanya tinggal setengah cangkir. Malam pun semakin larut. Sepertinya aku tidak bisa terus berada disini. Setelah membayar, tak lupa aku juga menyisipkan sebuah catatan kecil dibawah cangkir dengan rangkaian kata sederhana ini :

“Tubruk itu lambang kesederhanaan. Kesederhanaan yang istimewa. Kopinya enak... ”

***

“Anak gadis itu tidak boleh melamun ! Nanti kerasukan hantu ganteng !” kata Mas Walid mengagetkanku. 
Rupanya dia telah kembali dari Temanggung.

“Hahaha kalau hantunya ganteng aku mau melamun terus,” kataku kemudian.

“Dari tadi melamun terus. Tuh lihat espresso pesananmu sudah hampir dingin,” kata Mas Walid sambil membersihkan meja yang telah kosong.

Ternyata espresso yang kupesan telah sampai dan aku tidak menyadarinya karena asyik melamun.

“Kamu kan cewek, kok berani pesan espresso. Apa kuat ?” tanya Sang Barista dari balik meja produksi.

“Memangnya kenapa dengan espresso ? Aku belum tahu rasanya. Ini baru pertama kalinya aku mencoba. Aku memilihnya karena namanya bagus. Espresso. Kelihatan sangat berkelas,” kataku menanggapi pertanyaan Sang Barista.

Tanpa menunggu jawaban darinya aku langsung menikmati espresso pesananku. Kuawali dengan menghirup kopi ini lebih dalam. Kemudian aku mulai menyesapnya perlahan tanpa gula seperti biasanya aku ketika mulai menikmati kopi. Baru satu sesapan aku terkejut dengan rasa espresso ini. Rasa pahitnya kuat sekali. Pantas saja cangkir yang digunakan untuk menghidangkannya adalah cangkir kecil.

“Hah ... Mas pahit sekali espresso ini,” teriakku sambil menuangkan gula.

“Hahaha kubilang juga apa ! Apa kamu kuat menghabiskannya ?”

“Ini sudah kukasih gula tapi tetap saja masih pahit sekali. Boleh aku minta gula lagi ?” kataku sambil menghampiri Sang Barista dan meminta gula.

Setelah meminta gula akupun kembali duduk di pojok. Aku melihat ke jalan raya. Di pojok tempat favoritku ini memang dapat menikmati pemandangan baik didalam cafe maupun diluar cafe. Pojok yang sangat strategis. Begitu menurutku.

Kali ini aku menikmati pemandangan jalan raya dari pojok favoritku. Terlihat beberapa anak kecil yang menjajakan koran dagangannya. Kupikir bahaya sekali anak-anak sekecil itu ada dijalan raya. Meskipun sedang bekerja, mereka menganggap itu adalah cara bermain mereka setiap harinya. Jalan raya yang justru membahayakan nyawa mereka, di mata mereka jalan raya itu tak ubahnya seperti lapangan atau arena bermain yang sangat luas. Kehidupan yang mereka jalani seperti espresso yang kini masih penuh didalam cangkir kecil dihadapanku. Sangat pahit. Namun kepahitan itulah yang akhirnya menjadikan mereka sebagai pribadi yang kuat. Sekuat rasa pahit dari espresso ini. Bahkan gula pun seakan tak mampu meredam rasa pahitnya.

Pandanganku pun beralih ke dalam cafe. Masih terlihat beberapa orang yang berkumpul di satu meja bundar. Sepertinya mereka sedang berbicara tentang bisnis. Tapi entahlah yang mereka sedang berbicara tentang apa. Sebenarnya inilah hobiku. Hobiku adalah melihat orang. Melihat apa yang sedang dilakukan oleh orang-orang yang ada disekelilingku. Dan dari pojok ini aku bisa dengan puas menyalurkan hobiku selama ini.

***

Aku kembali memesan kopi kepada Sang Barista. Kali ini aku memesan cappucino.

“Dikasih gambar bunga ya Mas ..” begitu pesanku kepada Sang Barista.
Entah mengapa aku menyebut cappucino adalah kopi yang cara menyajikannya cukup mewah. Cukup mewah karena ada gambar yang terlukis diatas busanya. Jika Barista itu sangat handal bisa juga membuat Coffe Art 3D. Namun jika dibuat 3D sepertinya aku tidak akan meminumnya. Saking indahnya jadi sayang kalau diminum.

“Cappucinonya Mbak ...” kata Sang Barista.

“Wah terima kasih ....” kataku kemudian sambil mengagumi coffe art bergambar bunga di cappucino pesananku.

Inilah yang aku suka dari Cappucino. Selain indah, rasanya juga ringan. Tidak terlalu pahit. Jika diibaratkan seorang perempuan, cappucino ini bagaikan perempuan yang sangat anggun dan sangat halus. Selalu menjaga keindahan yang dimilikinya. Sehingga terkesan begitu mempesona.

***

POJOK TERAKOPIE. Begitulah aku menyebutnya. Dengan segala kenangan-kenangan yang tercipta dari sudut itu. Pemandangan-pemandangan yang kemudian telah terekam dalam memori pikiranku. Satu pojok favoritku. Mungkin disuatu hari nanti yang akan aku rindukan ketika aku mulai meninggalkan kota dengan segala kenangannya ini yang hanya tinggal beberapa menit lagi.




*Blog post ini dibuat dibuat dalam rangka mengikuti Kompetisi Menulis Cerpen #MyCupOfStory diselenggarakan oleh GIORDANO dan Nulisbuku.com

2 komentar:

  1. Suka deh sama gaya tulisannya :)
    Anw jadi pengen nih ke terakopie

    BalasHapus
    Balasan
    1. Halooo ... bisa loh maen ke Terakopie ...
      ada di sentraland ...

      Hapus