Siapa yang tak
mengenal Ibu dari Raden Mas Soesealit ini. Ibu dari para wanita di Indonesia.
Seperti yang telah kita kenal selama ini, beliau ialah Raden Ajeng Kartini.
Salah satu Pahlawan Wanita Nasional yang berasal dari Kota Ukir Jepara, Jawa
Tengah. Kartini lahir di Jepara pada tanggal 21 April 1879. Beliau lahir dari
rahim seorang ibu yang tidak memiliki darah bangsawan atau dapat dikatakan
sebagai orang pribumi bernama M.A. Ngasirah. Meskipun lahir dari rahim seorang
pribumi, Raden Ajeng Kartini termasuk dalam kalangan bangsawan Jawa. Mengapa
demikian ? hal tersebut dikarenakan Kartini merupakan putri dari Raden Mas
Adipati Sosroningrat yang pada
waktu itu menjabat sebagai Bupati Jepara. Saya pribadi sebagai anak yang lahir
di Jepara, jujur saya tidak begitu mengenal beliau secara mendalam. Bahkan bila
dibandingkan dengan artis dari Ibukota, saya lebih mengetahui artis tersebut
daripada R.A. Kartini. Saya hanya mengenalnya melalui lagu yang berjudul “IBU
KITA KARTINI” yang menjadi salah satu lagu nasional. Bahkan untuk lagunya saja
terkadang saya terbalik-balik ketika menyanyikannya. Ini yang akhirnya membuat
saya malu. Malu kepada diri sendiri, malu pada Ibu Kartini, dan tentunya malu
kepada kota kelahiran saya.
Mungkin bagi
banyak orang mengenal beliau karena sanggul dan kebaya yang menjadi ciri khas
beliau. Jadi berbeda dengan tokoh-tokoh pahlawan wanita yang lain. Memang pada
masa itu sudah menjadi kebiasaan perempuan Jawa memakai kebaya dan sanggul
dikesehariannya. Namun bukan itu yang harus kita kenal dan harus kita teladani
dari sosok R.A. Kartini. Dalam umur yang masih sangat belia, R.A Kartini telah
melakukan banyak hal terhadap kita bangsa Indonesia terutama juga kaum wanita.
Perjuangannya membela hak-hak kaumnya, melindungi rakyat Ayahnya karena pada
waktu itu memang Ayahnya menjadi Bupati Jepara itulah yang harus kita teladani.
Siapa yang
akan menyangka jika seorang wanita asli Jepara tersebut akan menjadi seorang
yang besar, yang di puja oleh bangsa dan dunia. Seorang wanita yang dalam
potretnya selalu menunjukkan ekspresi wajah yang sayu seolah menyembunyikan
sesuatu masalah yang besar. Yaa ... dibalik ekspresinya yang seperti itu, R.A.
Kartini memang tengah berpikir secara keras tentang bagaimana cara memperbaiki
nasib rakyatnya. Dalam potretnya pula, beliau tidak pernah tertawa lepas.
Seakan-akan jika dia tertawa lepas dia takut menimbulkan rasa iri bagi
rakyatnya.
Kesederhanaan
juga menghiasi hari-hari kartini. Bagaimana mungkin seorang anak bangsawan
hidup tanpa kemewahan. Kesederhanaan itu dapat dilihat dari busananya sehari hari
yang sering dipakai, kamar pingit yang ukurannya tidak terlalu besar, bahkan
ada sumber yang menuliskan bahwa R.A. Kartini tidak suka berpesta. Dalam buku
yang berjudul “Kartini : Pembaharu Peradaban” karya Hadi Priyanto, Ruang pingit
Kartini mulai dibuka yaitu pada tanggal 2 Mei 1898. Pada waktu itu, Kartini
beserta kedua adiknya diajak oleh orang tuanya untuk menghadiri berbagai acara
dan untuk pertama kalinya diajak ke Semarang untuk menghadiri penobatan Ratu
Wilhelmina. Serta diajak oleh ayahnya untuk menghadiri beberapa cara yang lain.
Peristiwa tersebut disambut sukacita oleh R.A. Kartini. Kegembiraannya itu
kemudian diungkapkannya melalui sepucuk surat kepada salah satu sahabatnya
yaitu Stella, yang berisi : “Untuk
pertama kalinya seumur hidup kami diperbolehkan keluar dari kota tempat tinggal
kami dan ikut pergi ke ibukota (Karesidenan Semarang) untuk menghadiri pesta
yang diadakan untuk menghormati penobatan Ratu. Itu merupakan kemenangan lagi
yang sangat, sangat besar, maka juga sangat kami hargai. Bahwa gadis-gadis muda
dari golongan ningrat seperti kami, keluar di jamuan umum, disini dianggap
sebagai sesuatu yang tidak pantas. ’Dunia’ menjadi tercengang dibuatnya.
Lidah-lidah ‘manis’ ramai membicarakan peristiwa yang ‘tidak pantas’ itu.
Tetapi sahabta-sahabat kami bangsa Belanda bersorak-sorak kegirangan”.
Namun hal itu tidak lantas membuat R.A. Kartini dan
kedua saudaranya puas. Karena memang bukan kebebasan yang seperti itu yang
dicarinya. Bukan pesta-pesta yang diinginkannya. Kembali beliau menuliskannya
dalam suratnya kepada Stella : “Dan kami,
kami merasa amat bahagia! Tetapi aku toh tidak puas. Masih jauh dari puas. Aku
mau maju, maju terus! Bukan pesta-pesta atau memburu kesenangan yang
kuinginkan, tetapi tujuanku adalah kemerdekaan. Aku mau merdeka, mau berdiri
sendiri, agar tidak perlu tergantung pada orang lain, agar tidak terpaksa harus
kawin”. R.A. Kartini menginginkan kebebasan yang dapat membuatnya berdiri
sendiri. Dan membuatnya lebih maju. Memperjuangkan nasib rakyatnya, membuka
wawasannya lebih jauh, dan lain sebagainya. Meskipun berada dalam sangkar emas
bangsawan beliau tidak henti-hentinya memikirkan nasib rakyatnya.
Kesederhanaan
R.A. Kartini yang lain pun dapat dilihat ketika beliau menikah dengan seorang Bupati
Rembang yaitu K.R.M. Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat, baju pengantin
yang dikenakannya juga sangat sederhana. Tidak seperti keturunan bangsawan
ketika menikah. Beliau hanya menggunakan kebaya dengan model sederhana dan kain
batik. Bahkan beliau pun tidak menggunakan paes (lukisan hitam di dahi) seperti
layaknya pengantin jawa pada umumnya. Beliau hanya berdandan yang bisa dibilang
seadanya dan menggunakan sanggul kecil seperti kesehariannya.
|
R.A. Kartini & Suami |
Namun beruntung
bagi R.A. Kartini karena beliau mendapatkan suami yang mendukung penuh apa yang
menjadi keinginannya. Suaminya yang pengertian mendukung cita-cita Kartini yang
ingin mengembangkan wawasannya dan ingin mendirikan sebuah sekolah.
Perjuangan
R.A. Kartini tidak hanya untuk pendidikan. Kartini juga perhatian terhadap
dunia seni khusunya seni khas Jepara. Dalam buku “Kartini : Pembaharu
Peradaban”, disebutkan bahwa ketika Kartini mendapatkan kesempatan untuk
mengirimkan karyanya pada Pameran Nasional Karya Wanita atau Nationale Tentoonstelling voor Vrouwnarbeid di
Den Haag tahun 1898 Kartini dan adiknya mengirimkan karya mereka. Selain itu
mereka juga mengirimkan buah tangan mereka untuk dipersembahkan kepada Ratu
Wilhelmina. Beliau juga sangat peduli dengan kerajinan ukir khas Jepara. Beliau
ingin agar kehidupan para perajin dapat berubah menjadi lebih baik. Hal
tersebut diungkapkan pada suratnya yang dikirimkan kepada Ny. Abendanon pada
tanggal 29 Mei 1903 yang berisi : “Kami
merencanakan sedikit hari lagi memamerkan beberapa karya ukir kayu kepada Van
Dorp di Semarang ... Seniman kami patut sekali dikenal dan dihargai seninya
yang indah”. Maka sangat dibenarkan jika peranan R.A. Kartini cukup besar
dalam perkembangan seni ukir di Jepara.
Namun jika
sampai saat ini masih saja di Indonesia ini membanding-bandingkan masalah gender, saya rasa itu hal yang bodoh.
Karena pada saat ini bukan gender
yang harus dibandingkan namun kualitas lah yang harus terus ditingkatkan.
Begitu
besarnya pengorbanan R.A. Kartini terhadap rakyatnya. Baik laki-laki maupun
perempuan. Meskipun banyak kontroversi yang beredar mengenai dirinya,
kontroversi mengapa hanya Ibu Kartini yang hari kelahirannya diperingati
sedangkan masih banyak pahlawan-pahlawan wanita yang tentu sama hebatnya ?. Kemudian
tentang kontroversi kematian Kartini yang katanya ada campur tangan Belanda. Padahal
Kartini sendiri telah menyadari bahwa takdirnya semakin dekat ketika beliau
mengandung jabang bayi Soesealit ketika umur kandungannya menginjak bulan
kelima. Karena pada waktu itu beliau mulai sering sakit-sakitan. Seperti yang
tertulis dalam buku “Kartini : Pembaharu Peradaban” dan surat yang dikirimkan
kepada Ny. Abendanon pada tanggal 17 Juli 1904 : “Pengorbanan apa sajalah yang tidak diminta anak demikian itu dari
ibunya! Sering sakit-sakit itu disebabkan karenanya. Aduhai ! ibu, saya harus
berhati-hati benar, harus waspada benar terhadap segala sesuatu. Sudah sejak
sebulan saya hanya menerima tamu keluarga saja, yang lalu datang dikamar saya.
Surat ini saya tulis sambil berbaring dikursi panjang, saya tidak dapat duduk
tegak”. Pada tanggal 24 Agustus 1904 pun Kartini kembali mengirim surat
kepada Ny. Abendanon ketika itu usia kandungannya menginjak 9 bulan. Begini isi
suratnya : “Surat yang ibu terima
baru-baru ini bukanlah surat yang terakhir. Sudah saya takutkan, tetapi yang
sekarang ini boleh jadi juga sungguh surat yang terakhir, sebab saya yang
merasakan ajal saya hampir tiba dengan cepatnya”.
Meskipun
banyak kontroversi mengenai dirinya, Kartini tetaplah Kartini. Kartini tetaplah
Putri sejati, Putri milik Indonesia yang harum namanya. Seorang putri dari
kalangan ningrat yang sederhana, yang memiliki ekspresi yang sulit untuk
diterka dalam semua potret gambarnya. Tuhan terlalu sayang kepadanya dan
menginginkannya langsung masuk ke surga karena perbuatan-perbuatan baiknya.
Sehingga beliau kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi tidak lama setelah melahirkan
putra satu-satunya yaitu Raden Mas Soesealit yang harus tumbuh tanpa sentuhan
tangan dan pelukan hangat dari ibu kandungnya. Bisa dikatakan kematian yang
Khusnul Khotimah.
|
Raden Mas Soesealit |
Ibu Kartini,
terima kasih ... karena jasa-jasamu, kami perempuan Indonesia dapat menjadi
seperti ini. Semoga engkau bisa tertawa lepas tanpa beban di surga sana. Namun,
apakah memang Engkau sudah benar-benar tertawa lepas di surga sana ? ataukah
justru Engkau semakin murung melihat kami sebagai wanita belum menjadi seperti
yang engkau inginkan dan justru berkelakuan semakin buruk. Maafkan kami Ibu
Kartini. Doakanlah kami selalu agar menjadi apa yang kau inginkan. Tunggu kami
di Surga Ibu Kartini. Agar kita bisa sama-sama belajar bersama. Selamat Tanggal
Lahirmu Ibu Kartini. Salam dari Kota Kelahiranmu, Jepara.
DAFTAR PUSTAKA
Katoppo, Aristides dkk. 1979. Satu
Abad Kartini (1879-1979). Jakarta : Sinar Harapan
Priyanto,
Hadi. 2010. Kartini Pembaharu Peradaban. Jepara : Tim Penggerak PKK Kabupaten
Jepara
Artikel terkait :