Powered By Blogger

Kamis, 21 April 2016

KEPEDIHAN HATI KARTINI : TERPISAH DARI IBU KANDUNG

Jika dibaca dari judulnya, ‘terpisah’ dalam hal ini bukanlah terpisah dengan jarak yang sangat jauh melainkan terpisah atap. Namun masih se area. Mengapa bisa begitu ? Beginilah kisahnya ...

Ibu M.A. Ngasirah
R.A. Kartini merupakan putri dari pasangan suami istri Raden Mas Adipati Sosroningrat dengan M.A. Ngasirah. Ayah Kartini kemudian menjabat sebagai Bupati Jepara tidak lama setelah Kartini lahir. Pada masa itu, ada sebuah peraturan bahwa seorang Bupati harus beristrikan seorang bangsawan. Mengingat bahwa Ibu Ngasirah bukanlah seorang bangsawan karena beliau hanya anak kyai dari Desa Teluk Awur, maka kemudian Ayah Kartini menikah lagi dengan R.A. Moerjam putri dari Bangsawan Madura R.M.P. Tjitrowikromo. Hal tersebut menyebabkan M.A. Ngasirah yang meskipun adalah istri pertama namun bukanlah istri yang utama. Karena yang menjadi istri utama hanyalah yang memiliki darah bangsawan yakni R.A. Moerjam.

Karena perbedaan status tersebutlah yang menyebabkan perbedaan perlakuan pula. M.A. Ngasirah tidak diperbolehkan tinggal satu atap dengan suami dan anak-anak kandungnya. Trenyuh hati saya ketika mendengar cerita ini. M.A. Ngasirah tinggal ditempat terpisah dari rumah utama meskipun dalam satu area namun beda atap. Sebuah rumah kecil yang ketika saya lihat hanya berupa kamar-kamar. Saya tidak dapat membayangkan bagaimana perasaan Ibu Ngasirah pada waktu itu. Serta juga perasaan R.A. Kartini melihat dan merasakan keadaan yang seperti itu. Beliau tidak bisa setiap hari merasakan pelukan hangat serta belaian lembut dari ibu kandungnya. Bahkan dari buku yang saya baca yang berjudul “Kartini : Pembaharu Peradaban”, kisah tersebut sungguh sangat mengiris batin siapapun yang membacanya. Dalam buku itu disebutkan bahwa karena Ngasirah bukanlah berasal dari kalangan bangsawan, ia tidak berhak tinggal dirumah utama. Ngasirah harus tinggal dirumah kecil yang ada disamping rumah kabupaten. Beliau juga harus membungkuk-bungkuk untuk memberikan penghormatan kepada para bangsawan, termasuk kepada R.A. Moerjam. Dan beliau harus memanggil anak-anak kandungnya dengan sebutan “Ndara” dan hanya boleh dipanggil “Yu” oleh anak-anak kandungnya. Hati siapa yang tidak trenyuh membaca kisah itu. Namun hal itu sudah terbiasa pada masanya. Setiap bupati yang tidak beristrikan bangsawan pasti akan menikahi seorang bangsawan dan menjadikan istri bangsawannya itu sebagai istri utama.

Salah satu kamar yang ditempati Ibu Ngasirah

Sumur Jaman Dahulu
Lantas bagaimana perasaan hati Kartini ? tentu tanpa bertanya pun semua orang sudah tahu bagaimana perasaan R.A. Kartini menghadapi hal semacam itu. Tentu hatinya juga teriris-iris. Anak mana yang tega memanggil ibu kandungnya dengan sebutan “Yu”. Tentu R.A. Kartini dan saudara-saudaranya tidak ada yang tega. Karena ibu kandung tetaplah ibu kandung. Kesakitan hatinya juga disampaikan melalui sebuah surat yang ditulisnya untuk sahabatnya yang diterbitkan oleh F.G.P Jaquet : “Saya telah melihat neraka dari jarak dekat malahan saya berada didalamnya, saya telah menyaksikan penderitaan dan merasakan sendiri kesengsaraan ibu saya sendiri, karena saya adalah anaknya”. Curahan hati R.A. Kartini sebagai seorang anak yang sebegitu dalamnya. Bahkan saya pun yang bukan siapa-siapa, turut bergetar mendengarnya.

Apapun status yang diberikan kepada Ibu Ngasirah pada waktu itu, tetap tidak dapat meruntuhkan status utamanya yaitu sebagai ibu kandung R.A. Kartini. Ibu kandung dari wanita yang hebat. Beliau tetap bertahan meskipun hatinya saya kira sudah teriris habis.


Ibu Ngasirah, sekarang engkau sudah dapat berkumpul dengan damai bersama anak-anak kandungmu di Surga. Engkau bisa menjaga mereka bermain, memeluk mereka, memandangi mereka dengan puas, menceritakan kisah-kisah yang indah dan masih banyak hal yang dapat engkau lakukan disana. Terimakasih karena Engkau telah melahirkan anak-anak yang hebat untuk negeri ini terutama R.A. Kartini dan Raden Mas Sosrokartono.

DAFTAR PUSTAKA

Katoppo, Aristides dkk. 1979. Satu Abad Kartini (1879-1979). Jakarta : Sinar Harapan
Priyanto, Hadi. 2010. Kartini Pembaharu Peradaban. Jepara : Tim Penggerak PKK Kabupaten Jepara

Tidak ada komentar:

Posting Komentar