Powered By Blogger

Kamis, 21 April 2016

KARENA R.A KARTINI TAK HANYA SEBATAS KEBAYA DAN SANGGUL

Siapa yang tak mengenal Ibu dari Raden Mas Soesealit ini. Ibu dari para wanita di Indonesia. Seperti yang telah kita kenal selama ini, beliau ialah Raden Ajeng Kartini. Salah satu Pahlawan Wanita Nasional yang berasal dari Kota Ukir Jepara, Jawa Tengah. Kartini lahir di Jepara pada tanggal 21 April 1879. Beliau lahir dari rahim seorang ibu yang tidak memiliki darah bangsawan atau dapat dikatakan sebagai orang pribumi bernama M.A. Ngasirah. Meskipun lahir dari rahim seorang pribumi, Raden Ajeng Kartini termasuk dalam kalangan bangsawan Jawa. Mengapa demikian ? hal tersebut dikarenakan Kartini merupakan putri dari Raden Mas Adipati Sosroningrat yang pada waktu itu menjabat sebagai Bupati Jepara. Saya pribadi sebagai anak yang lahir di Jepara, jujur saya tidak begitu mengenal beliau secara mendalam. Bahkan bila dibandingkan dengan artis dari Ibukota, saya lebih mengetahui artis tersebut daripada R.A. Kartini. Saya hanya mengenalnya melalui lagu yang berjudul “IBU KITA KARTINI” yang menjadi salah satu lagu nasional. Bahkan untuk lagunya saja terkadang saya terbalik-balik ketika menyanyikannya. Ini yang akhirnya membuat saya malu. Malu kepada diri sendiri, malu pada Ibu Kartini, dan tentunya malu kepada kota kelahiran saya.


Mungkin bagi banyak orang mengenal beliau karena sanggul dan kebaya yang menjadi ciri khas beliau. Jadi berbeda dengan tokoh-tokoh pahlawan wanita yang lain. Memang pada masa itu sudah menjadi kebiasaan perempuan Jawa memakai kebaya dan sanggul dikesehariannya. Namun bukan itu yang harus kita kenal dan harus kita teladani dari sosok R.A. Kartini. Dalam umur yang masih sangat belia, R.A Kartini telah melakukan banyak hal terhadap kita bangsa Indonesia terutama juga kaum wanita. Perjuangannya membela hak-hak kaumnya, melindungi rakyat Ayahnya karena pada waktu itu memang Ayahnya menjadi Bupati Jepara itulah yang harus kita teladani.

Siapa yang akan menyangka jika seorang wanita asli Jepara tersebut akan menjadi seorang yang besar, yang di puja oleh bangsa dan dunia. Seorang wanita yang dalam potretnya selalu menunjukkan ekspresi wajah yang sayu seolah menyembunyikan sesuatu masalah yang besar. Yaa ... dibalik ekspresinya yang seperti itu, R.A. Kartini memang tengah berpikir secara keras tentang bagaimana cara memperbaiki nasib rakyatnya. Dalam potretnya pula, beliau tidak pernah tertawa lepas. Seakan-akan jika dia tertawa lepas dia takut menimbulkan rasa iri bagi rakyatnya.

Kesederhanaan juga menghiasi hari-hari kartini. Bagaimana mungkin seorang anak bangsawan hidup tanpa kemewahan. Kesederhanaan itu dapat dilihat dari busananya sehari hari yang sering dipakai, kamar pingit yang ukurannya tidak terlalu besar, bahkan ada sumber yang menuliskan bahwa R.A. Kartini tidak suka berpesta. Dalam buku yang berjudul “Kartini : Pembaharu Peradaban” karya Hadi Priyanto, Ruang pingit Kartini mulai dibuka yaitu pada tanggal 2 Mei 1898. Pada waktu itu, Kartini beserta kedua adiknya diajak oleh orang tuanya untuk menghadiri berbagai acara dan untuk pertama kalinya diajak ke Semarang untuk menghadiri penobatan Ratu Wilhelmina. Serta diajak oleh ayahnya untuk menghadiri beberapa cara yang lain. Peristiwa tersebut disambut sukacita oleh R.A. Kartini. Kegembiraannya itu kemudian diungkapkannya melalui sepucuk surat kepada salah satu sahabatnya yaitu Stella, yang berisi : “Untuk pertama kalinya seumur hidup kami diperbolehkan keluar dari kota tempat tinggal kami dan ikut pergi ke ibukota (Karesidenan Semarang) untuk menghadiri pesta yang diadakan untuk menghormati penobatan Ratu. Itu merupakan kemenangan lagi yang sangat, sangat besar, maka juga sangat kami hargai. Bahwa gadis-gadis muda dari golongan ningrat seperti kami, keluar di jamuan umum, disini dianggap sebagai sesuatu yang tidak pantas. ’Dunia’ menjadi tercengang dibuatnya. Lidah-lidah ‘manis’ ramai membicarakan peristiwa yang ‘tidak pantas’ itu. Tetapi sahabta-sahabat kami bangsa Belanda bersorak-sorak kegirangan”.



Namun  hal itu tidak lantas membuat R.A. Kartini dan kedua saudaranya puas. Karena memang bukan kebebasan yang seperti itu yang dicarinya. Bukan pesta-pesta yang diinginkannya. Kembali beliau menuliskannya dalam suratnya kepada Stella : “Dan kami, kami merasa amat bahagia! Tetapi aku toh tidak puas. Masih jauh dari puas. Aku mau maju, maju terus! Bukan pesta-pesta atau memburu kesenangan yang kuinginkan, tetapi tujuanku adalah kemerdekaan. Aku mau merdeka, mau berdiri sendiri, agar tidak perlu tergantung pada orang lain, agar tidak terpaksa harus kawin”. R.A. Kartini menginginkan kebebasan yang dapat membuatnya berdiri sendiri. Dan membuatnya lebih maju. Memperjuangkan nasib rakyatnya, membuka wawasannya lebih jauh, dan lain sebagainya. Meskipun berada dalam sangkar emas bangsawan beliau tidak henti-hentinya memikirkan nasib rakyatnya.

Kesederhanaan R.A. Kartini yang lain pun dapat dilihat ketika beliau menikah dengan seorang Bupati Rembang yaitu K.R.M. Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat, baju pengantin yang dikenakannya juga sangat sederhana. Tidak seperti keturunan bangsawan ketika menikah. Beliau hanya menggunakan kebaya dengan model sederhana dan kain batik. Bahkan beliau pun tidak menggunakan paes (lukisan hitam di dahi) seperti layaknya pengantin jawa pada umumnya. Beliau hanya berdandan yang bisa dibilang seadanya dan menggunakan sanggul kecil seperti kesehariannya.

R.A. Kartini & Suami
Namun beruntung bagi R.A. Kartini karena beliau mendapatkan suami yang mendukung penuh apa yang menjadi keinginannya. Suaminya yang pengertian mendukung cita-cita Kartini yang ingin mengembangkan wawasannya dan ingin mendirikan sebuah sekolah.

Perjuangan R.A. Kartini tidak hanya untuk pendidikan. Kartini juga perhatian terhadap dunia seni khusunya seni khas Jepara. Dalam buku “Kartini : Pembaharu Peradaban”, disebutkan bahwa ketika Kartini mendapatkan kesempatan untuk mengirimkan karyanya pada Pameran Nasional Karya Wanita atau Nationale Tentoonstelling voor Vrouwnarbeid di Den Haag tahun 1898 Kartini dan adiknya mengirimkan karya mereka. Selain itu mereka juga mengirimkan buah tangan mereka untuk dipersembahkan kepada Ratu Wilhelmina. Beliau juga sangat peduli dengan kerajinan ukir khas Jepara. Beliau ingin agar kehidupan para perajin dapat berubah menjadi lebih baik. Hal tersebut diungkapkan pada suratnya yang dikirimkan kepada Ny. Abendanon pada tanggal 29 Mei 1903 yang berisi : “Kami merencanakan sedikit hari lagi memamerkan beberapa karya ukir kayu kepada Van Dorp di Semarang ... Seniman kami patut sekali dikenal dan dihargai seninya yang indah”. Maka sangat dibenarkan jika peranan R.A. Kartini cukup besar dalam perkembangan seni ukir di Jepara.

Namun jika sampai saat ini masih saja di Indonesia ini membanding-bandingkan masalah gender, saya rasa itu hal yang bodoh. Karena pada saat ini bukan gender yang harus dibandingkan namun kualitas lah yang harus terus ditingkatkan.

Begitu besarnya pengorbanan R.A. Kartini terhadap rakyatnya. Baik laki-laki maupun perempuan. Meskipun banyak kontroversi yang beredar mengenai dirinya, kontroversi mengapa hanya Ibu Kartini yang hari kelahirannya diperingati sedangkan masih banyak pahlawan-pahlawan wanita yang tentu sama hebatnya ?. Kemudian tentang kontroversi kematian Kartini yang katanya ada campur tangan Belanda. Padahal Kartini sendiri telah menyadari bahwa takdirnya semakin dekat ketika beliau mengandung jabang bayi Soesealit ketika umur kandungannya menginjak bulan kelima. Karena pada waktu itu beliau mulai sering sakit-sakitan. Seperti yang tertulis dalam buku “Kartini : Pembaharu Peradaban” dan surat yang dikirimkan kepada Ny. Abendanon pada tanggal 17 Juli 1904 : “Pengorbanan apa sajalah yang tidak diminta anak demikian itu dari ibunya! Sering sakit-sakit itu disebabkan karenanya. Aduhai ! ibu, saya harus berhati-hati benar, harus waspada benar terhadap segala sesuatu. Sudah sejak sebulan saya hanya menerima tamu keluarga saja, yang lalu datang dikamar saya. Surat ini saya tulis sambil berbaring dikursi panjang, saya tidak dapat duduk tegak”. Pada tanggal 24 Agustus 1904 pun Kartini kembali mengirim surat kepada Ny. Abendanon ketika itu usia kandungannya menginjak 9 bulan. Begini isi suratnya : “Surat yang ibu terima baru-baru ini bukanlah surat yang terakhir. Sudah saya takutkan, tetapi yang sekarang ini boleh jadi juga sungguh surat yang terakhir, sebab saya yang merasakan ajal saya hampir tiba dengan cepatnya”.

Meskipun banyak kontroversi mengenai dirinya, Kartini tetaplah Kartini. Kartini tetaplah Putri sejati, Putri milik Indonesia yang harum namanya. Seorang putri dari kalangan ningrat yang sederhana, yang memiliki ekspresi yang sulit untuk diterka dalam semua potret gambarnya. Tuhan terlalu sayang kepadanya dan menginginkannya langsung masuk ke surga karena perbuatan-perbuatan baiknya. Sehingga beliau kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi tidak lama setelah melahirkan putra satu-satunya yaitu Raden Mas Soesealit yang harus tumbuh tanpa sentuhan tangan dan pelukan hangat dari ibu kandungnya. Bisa dikatakan kematian yang Khusnul Khotimah.

Raden Mas Soesealit
Ibu Kartini, terima kasih ... karena jasa-jasamu, kami perempuan Indonesia dapat menjadi seperti ini. Semoga engkau bisa tertawa lepas tanpa beban di surga sana. Namun, apakah memang Engkau sudah benar-benar tertawa lepas di surga sana ? ataukah justru Engkau semakin murung melihat kami sebagai wanita belum menjadi seperti yang engkau inginkan dan justru berkelakuan semakin buruk. Maafkan kami Ibu Kartini. Doakanlah kami selalu agar menjadi apa yang kau inginkan. Tunggu kami di Surga Ibu Kartini. Agar kita bisa sama-sama belajar bersama. Selamat Tanggal Lahirmu Ibu Kartini. Salam dari Kota Kelahiranmu, Jepara.




DAFTAR PUSTAKA

Katoppo, Aristides dkk. 1979. Satu Abad Kartini (1879-1979). Jakarta : Sinar Harapan
Priyanto, Hadi. 2010. Kartini Pembaharu Peradaban. Jepara : Tim Penggerak PKK Kabupaten Jepara



Artikel terkait :

2 komentar:

  1. Hm, jadi sudah sakit-sakitan waktu mengandung itu, ya beliau. Allah sangat sayang padanya sehingga begitu cepat dipanggil. SAtu tokoh yang saya kagumi karena melampaui zamannya.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya sewaktu beliau mengandung memang sudah sakit ibu mugniar ...

      Hapus